Selasa 21 Desember 2021
Saat dalam perjalanan pulang hari itu tiba-tiba hujan turun dengan deras. Aku berhenti di sebuah minimarket, ingin membeli air minum sembari beteduh. Setelah membeli air minum, aku keluar dari minimarket, ku lihat bangku di teras minimarket pun penuh karena memang banyak sekali yang berteduh. Tiba-tiba seorang wanita paruh baya memanggilku dan menyuruhku duduk dibangku yang berada disebelahnya. Wanita itu pun memangku anaknya yang berusia sekitar 3 tahun, agar aku bisa duduk dibangku yang ia duduki tadi. Aku mengucapkan terima kasih. Lalu kami mulai mengobrol satu sama lain.
Kulihat tas besar yang berada di bawah kursinya, lalu ku tanya ia hendak pergi kemana dengan anaknya. Ia pun menjawab bahwa sejak pagi ia berkeliling menjajakan pakaian dagangannya dari satu desa ke desa lain yang ia temui selama perjalanan dengan membawa serta anaknya. Melihat anaknya yang kedinginan dalam dekapan ibunya, hatiku terasa trenyuh. Lalu aku meminta izin agar bisa melihat dagangannya. Wanita itupun tersenyum lebar, dengan cekatan membuka tas besar yang berisi banyak sekali model pakaian kekinian. Dengan ramah ia menunjukkan satu persatu dagangannya, lihai sekali memang ia menawarkan dagangannya. Setelah memilih-milih aku putuskan untuk membeli sepotong pakaian dari dagangannya.
" Andai aku punya lebih banyak uang hari ini, pastilah aku akan membeli lebih dari sepotong" gumamku.
Ternyata, orang-orang yang berteduh tadi pun ikut tertarik membeli pakaian wanita itu. Lumayan lah, mungkin ada sekitar lima potong pakaian yang terjual. Tak henti ia berucap syukur karena dangangannya laku. Aku pun memuji caranya berdagang, sudah sangat lihai sekali dalam menawarkan pakaian.
Ia menghela napas panjang, lalu menjawab "Saya dan suami sebelumnya punya pabrik konveksi mbak, tapi sekarang bangkrut" jawabnya dengan senyum tipis. Aku pun meminta maaf karena mungkin perkataanku sedikit membuatnya mengingat hal itu. Ia malah tertawa kecil, dan bilang tak masalah.
Ia lalu melanjutkan ceritanya, "sekarang saya berjualan keliling untuk menyambung hidup, sekedar membeli makan saja kami kesulitan sekarang mbak" gumamnya lirih sambil memeluk anaknya.
Aku tertegun. Kupandangi bola matanya mulai berair.
"Kami dulu punya pabrik konveksi yang besar, toko pakaian kami dimana-mana. Tapi sekejap sirna saat kami ditipu oknum yang tidak bertanggung jawab" lanjutnya.
"Rumah dan mobil terpaksa kami jual untuk membayar hutang-hutang kami mbak. Karena kehabisan modal pabrik dan toko-toko kami berhenti beroperasi, dan sekarang saya berjualan barang-barang dari pabrik dan toko kami yang masih tersisa". Air matanya mulai berlinang.
Aku semakin tak enak, ku usap-usap punggungnya sambil menenangkannya dan memintanya untuk sabar.
"Yang lebih menyakitkan lagi, suami saya sekarang sakit stroke semenjak kebangkrutan kami. Sepertinya beliau syok atas apa yang menimpa kami. Dan sekarang saya harus berjuang untuk dua orang anak saya". Tambahnya
"Saudara-saudara kami pun menjauh, yang lebih parah saudara ipar saya menghujat kami habis-habisan. Padahal kami sendiri pun tak menginginkan hal ini.Tapi ya begitulah memang, orang lain tak tahu kehidupan kami sebenarnya, perjuangan kami, jatuh bangun kami. Yang mereka tahu sekarang kami punya hutang dimana-dimana. Sakit mbak mendengar cacian saudara-saudara ipar saya. Kami tak pernah menginginkan hal ini, tapi ada daya takdir Allah sudah terjadi dan kami harus menerima dengan ikhlas."
Entahlah, hatiku pun semakin kacau balau mendengar ceritanya. Aku tahu bagaimana rasanya merawat orang yang sakit stroke. Karena dulu ayahku juga menderita stroke selama 13 tahun. Tetiba aku teringat ibu, mungkin ini yang dirasakan ibu saat harus berjuang menghidupi kami bertiga saat ayah terkena stroke.
Tak ingin membuatnya semakin sedih, aku pun mengalihkan pembicaraan dengan menggoda gadis kecilnya. Mengajaknya bercanda dan bernyanyi. Melihat anaknya tertawa adalah obat paling mujarab bagi seorang ibu. Karena aku tak bisa membantu banyak, jadi aku tak ingin menambah luka batinnya dengan terus mendengar ceritanya.
Kami pun mulai bercerita mengenai perkembangan anak kami. Tentang polah tingkah anak kami. Kami pun bercerita tentang rutinitas kami sehari-hari.
Hujan pun mulai reda. Wanita itu undur diri karena ingin melanjutkan perjalanan. Tak henti ia mengucapkan terima kasih. Kupandangi ia dan anaknya saat hendak pergi. Si kecil itu pun melambaikan tangannya padaku dengan senyum. Lalu kubalas dengan melambai tangan.
Dalam perjalanan pulang, aku masih terus terngiang cerita hidup wanita tadi.
Ya allah, mungkin aku juga tak akan sanggup berada di posisinya. Begitu juga, mungkin ia juga tidak akan sanggup berada di posisiku. Benar katanya, takdir hidup setiap orang itu berbeda. Tentu setiap orang menginginkan yang terbaik dalam hidupnya. Hidup tenang, materi berkecukupan, hidup rukun dengan saudara. Tapi apa daya jika Allah sudah berkehendak.
Sebagai sesama muslim, alangkah baiknya jika kita bisa menjaga hati dan lisan kita. Jika ada saudara kita mengalami ujian dari Allah jangan lantas mencaci dan menghujat keadaanya. Ingat roda kehidupan itu berputar, bisa jadi orang yang kita caci dan hujat akan diangkat derajatnya oleh Allah di akhirat karena kesabaran dan keikhlasannya.
Jangan menghina orang yang berkurang materi saat ini, bisa jadi kelak orang tersebut lah yang akan menolong kita saat kita tertimpa kesulitan. Jika kita tidak bisa menolong, setidaknya ucapkan kalimat-kalimat positif untuk memberinya semangat dalam menjalani takdir Allah swt.
Takdir itu milik Allah swt. Manusia hanya bisa berdoa dan berusaha. Semoga kisah sederhana tadi bisa menjadi bahan renungan untuk kita, agar lebih mawas diri dalam bersikap dan bertutur kata atas takdir Allah yang menimpa kita maupun orang di sekitar kita. Aamiin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar